Minggu, 15 Mei 2011

ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

Sejak dulu, kini maupun di masa yang akan datang pendidikan akan selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan perkembangan iptek. Pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan pendidikan itu disebut aliran-aliran pendidikan. Seperti dalam bidang-bidang lainnya, pemikiran-pemikiran dalam pendidikan berlangsung seperti suatu diskusi berkepanjangan yakni pemikiran terdahulu selalu ditanggapi pro dan kontra oleh pemikir-pemikir berikutnya, dan karena dialog tersebut akan melahirkan lagi pemikiran-pemikiran baru dan demikian seterusnya. Agar diskusi berkepanjangan itu dapat diikuti dan dipahami, maka berbagai aspek dari aliran-aliran itu harus dipahami terlebih dahulu. Oleh karena itu calon tenaga kependidikan harus memahami berbagai aliran-aliran itu agar dapat menangkap makna setiap gerak dinamika pemikiran-pemikiran dalam pendidikan.
Pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran penting dalam pendidikan akan membekali tenaga kependidikan dengan wawasan kesejarahan, yakni kemampuan memahami kaitan antara pengalaman-pengalaman masa lampau, tuntuntan dan kebutuhan masa kini, serta perkiraan/antisipasi masa yang akan datang. Wawasan yang historis tersebut dapat berperan sebagai penangkal terhadap kemungkinan kekeliruan kebijakan masa kini yang dapat berakibat bencana di masa depan. Seperti diketahui , hasil pendidikan tidak segera tampak; sehingga kekeliruan sekecil apapun akan menyebabkan upaya perbaikan yang kadang-kadang sudah terlambat.
Aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam berbagai kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan pemikiran-pemikiran tentang kependidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai saat ini. Berikut adalah aliran-aliran dalam pendidikan:

A. Aliran Klasik dan Gerakan Baru dalam Pendidikan
Pemikiran-pemikiran tentang kependidikan berawal dari Yunani kuno yang kemudian berkembang dengan pesat di wilayah Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, baik aliran-aliran klasik maupun gerakan baru dalam pendidikan pada umumnya berasal dari kedua kawasan tersebut. Pemikiran – pemikiran tersebut tersebar keseluruh dunia termasuk Indonesia melalui berbagai cara antara lain : dibawa oleh bangsa penjajah kedaerah jajahannya, melalui buku bacaan, dibawa oleh orang-orang yang belajar ke Eropa dan amerika Serikatdan sebagainya. Penyebaran itu menyebabkan pemikiran-pemikiran dari kedua kawasan pada umumnya menjadi acuan dalam penetapan kebijakan kependidikan diberbagai negara.
1. Aliran-Aliran Klasik
Aliran-aliran klasik meliputi aliran –aliran empirismes, nativisme, naturalisme, dan konvergensi merupakan benang-benangmerah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran –aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dadri yang paling pesimis sampai yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedangkan aliran yang paling optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada diantara kedua kutub tersebut, yang dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran pendidikan.
a) Aliran empirisme
Aliran empirisme bertolak dari Lockean tradition yang mementikan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat drai dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini bersal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa” yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab pendidik dapat menyediakan lingkungan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman. Pengalaman-pengalaman disini tentunya yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Aliran empirisme dipandang berat sebelah karena hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa sang anak sejak lahir dianggap tidak menentukan, menurut kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun dalam lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang bersal dari dalam diri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras dari anak itu sendiri. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih bertahan pada melalui modifikasi tingkah laku.
b) Aliran Nativisme
Aliran nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangn anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak lahir. Schopenhauer (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “ yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesui dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak didik tersebut. Istilah nativisme berasal dari kata natie yang artinya adalah terlahir. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka ia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan baik maka ia akan menjadi baik. Pembawaan baik dan buruk ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya, tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangannya. Masih ada banyak faktor lain yang mempengaruhi perkembangan anak menuju kedewasaan.
c) Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah aliran naturalisme yang dipelopori oleh seorang filsuf Perancis J.J Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan Schopenhaur, Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik. Penbawaan baik anak akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan. Rousseau juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan, yang dilakukan adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan itu. J.J Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu tampak secara spontan dan bebas. Ia mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannya, kemampuan-kemampuannya, dan kecenderungan-kecenderungannya. Pendidikan harus dijauhkan dalam perkembangan anak karena itu berarti dapat menjauhkan anka dari segala hal yang bersifat dibuat-buat dan dapat membawa anak kembali ke alam untuk mempertahankan segala yang baik. Seperti diketahui gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan sampai saat ini tidak terbukti malahan kian hari pendidikan kian dibutuhkan.
d) Aliran Konvergensi
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang alhi pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungna sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa anak pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu. Sebagai contoh: hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata adalah juga hasil dari konvergensi. Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak belajar berbicara mengembangkan pembawaan bahasanya. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya misalnya bahasa jawa, bahasa sunda dan sebagainya. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal di satu lingkungan yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan situasi lingkungan, biarpun lingkungan kedua anak itu menggunakan bahasa yang sama. William berpendapat bahwa hasil pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan – akan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan. Hal inilah yang menyebabkan disebutnya teori Konvergensi (konvergen artinya memusat ke satu titik). Jadi menurut teori konvergensi:
1. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
2. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi buruk.
3. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Aliran konvergensi umumnya diterima luas di berbagai kalangan, sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu.

2. Gerakan baru pendidikan
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks menuntut penanganan untuk meningkatkan kualitasnya, baik yang bersifat menyeluruh maupun pada beberapa komponen tertentu saja. Gerakan-gerakan baru dalam pendidikan pada umumnya termasuk yang kedua yakni upaya peningkatan suatu pendidikan hanya dalam satu atau beberapa komponen saja. Meskipun demikian , sebagai suatu sistem, penanganan satu atau beberapa komponen itu akan mempengaruhi komponen lainnya. Beberapa dari gerakan baru tersebut memusatkan diri pada perbaikan dan peningkatan kualitas kegiatan pendidikan seperti pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja, pengajaran proyek dan sebagainya (Suparlan 1984 dalam umar Tirtaraharja 2008).
a. Pengajaran Alam Sekitar
Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan alam sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar. Perintis gerakan ini antara lain: Fr. A. Finger (1808-1888) di jerman dengan heimatkunde (pengajaran alam sekitar) dan J. Lighthart (1859-1916) di Belanda dengan Het Vollen Leven (kehidupan nyatanya). Beberapa prinsip gerakan Heimatkunde adalah:
1. Dengan pengajaran alam sekitar guru dapat memperagakan secara langsung, hal ini sesuai dengan sifat-sifat atau dasar-dasar oorang pengajaran.
2. Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak aktif atu giat tidak hanya duduk, dengar dan catat saja.
3. Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu bentuk pengajaran dengan ciri-ciri dalam garis besarnya yaitu:
 Suatu pengajaran yang tidak mengenai pembagian mata pelajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan mengarahkan uasahanya untuk mencapai tujuan tersebut.
 Suatu pengajaran yang menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambilkan dari alam sekitar.
 Suatu pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengajaran itu berhubung-hubungan satu sama lain seerat-eratnya secara teratur.
 Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalistik, yang dimaksud dengan apersepsi intelektual adalah segala suatu yang baru dan masuk di dalam intelek anak, harus dapat luluh menjadi satu dengan kekayaan pengetahuan yang sudah dimiliki anak. Harus terjadi proses asimilasi antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.
 Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional, karena alam sekitar mempunyai ikatan emosi dengan anak.
Pokok-pokok pendapat tentang pengajaran alam sekitar telah banyak dilakukan di sekolah baik dengan peragaan, penggunaan bahan lokal dalam pengajaran dan lain-lain. Seperti yang telah kita ketahui saat ini telah ditetapkan adanya muatan lokal dala kurikulum termasuk penggunaan alam sekitar. Dengan muatan lokal tersebut diharapkan anak makin dekat alam dan masyarakat lingkungannya. Disamping alam sekitar sebagai isi bahan ajaran, alam sekitar juga menjadi kajian empirik melalui percobaan, studi banding dan sebagainya. Dengan memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar, anak akan lebih menghargai, mencintai, dan melestarikan lingkungannya.
b. Pengajaran Pusat perhatian
Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovideminat Decroy (1871-1932) dari Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat, disamping pendapatnya tentang pengajaran global. Pendidikan menurut Decroy berdasar pada semboyan: Ecole pour la vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Anak harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam mayarakat. Oleh karena itu anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri ( tentang hasrat dan cita-citanya) dan pengertahuan tentang dunianya (lingkungannya, tempat hidup dihari depannya). Decroy menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran yaitu:
1. Metode Global (keseluruhan). Dari hasil observasi dan tes ia menetapkan bahwa anak-anak mengamati dan mengingat secara global. Mengingat keseluruhan lebih dulu daripada bagian-bagian, jadi ini berdasar atas prinsip psikologi Gestalt. Dalam mengajarkan membaca dan menulis, ternyata mengajarkan kalimat lebih mudah dibandingkan mengajarkan kata-kata lepas. Sedangkan kata lebih mudah diajarkan daripada huruf-huruf tersendiri. Metode ini bersifat videovisual sebab arti auatu kata yang diajarkan selalu diasosiasikan dengan Tanda (tulisan) atau suatu gambar yang dapat dilihat.
2. Centre d’interet (pusat-pusat minat). Dari penyelidikan psikologis, ia menetapkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang spontan (sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan tersebut. Sebab apabila tidak yaitu minat yang ditimbulkan oleh guru maka pengajaran itu tidak banyak hasilnya. Anak mempunyai minat-minat spontan terhadap diri sendiri dan itu dapat dibedakan menjadi:
 Dorongan mempertahankan diri,
 Dorongan mencari makan dan minum
 Dorongan memelihara diri
Sedangkan minat terhadap masyarakat (biososial) adalah:
 Dorongan sibuk bermain-main,
 Dorongan meniru orang lain
Dorongan-dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan dan pengajaran harus selalu dihubungkan dengan pusat-pusat minat.
c. Sekolah Kerja
Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J.A Comenius (1592-1670) menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa, dan tangan ( Keterampilan kerja tangan). J.H Pestalozzi (1746-1827) mengajarkan bermacam-macam mata pelajaran pertukaran disekolahnya. Perlu ditekankan bahwa sekolah kerja bertolak dari pandangan bahwa pendidikan tidak hanya demi kepentingan individu tetapi juga demi kepentingan masyarakat. Kerschensteiner berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja. Bukan pekerjaan otak yang dipentingkan, melainkan pekerjaan tangan, sebab pekerjaan tangan adalah dasar dari segala pengetahuan adat, agama, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan,dan lain-lain. Oleh karena itu maka sekolah kerja dibagi menjadi 3 golongan besar:
1) Sekolah-sekolah perindustrian (tukang cukur, tukang cetak, tukang kayu, tukang daging, masinis, dan lain-lain.)
2) Sekolah-sekolah perdagangan (makanan, pakaian, bank,asuransi,pemegang buku, poeselin, pisau, dan gunting dari besi dan lain-lain).
3) Sekolah-sekolah rumah tangga, bertujuan mendidik para calon ibu yang diharapkan akan menghasilkan warga negara yang baik.
Gagasan sekolah kerja mendorong berkembangnya sekolah kejuruan diberbagai negara, termasuk di Indonesia. Peranan sekolah kejuruan pada tingkat menengah merupakan tulang punggung penyiapan tenaga terampil yang diperlukan oleh negara-negara sangat diperlukan oleh setiap orang yang akan memasuki dunia kerja. Disamping itu pengaruh terbesar gagasan ini adalah pada jalur pendidikan luar sekolah ( seperti kursus-kursus, balai latihan kerja, dan sebagainya).
d. Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran proyek diletakkan oleh John Dewey (1859-1952), namun pelaksanaannya dilakukan oleh pengikutnya, utamanya W.H Kilpatrick (1871-....). Dewey menegaskan bahwa sekolah haruslah sebagai mikrokosmos dari masyarakat (become s micrososm of society); oleh karena itu pendidikan adalah suatu proses kehidupan itu sendiri dan bukannya penyiapan untuk kehidupan masa depan (education is a proses of living and not a preparation for future living). (Ulich,1950:318). Khusus dalam bidang pengajaran, Dewey menegaskan pengajaran proyek yang dilanjutkan oleh Kilpatrick dan kawan-kawannya. Dalam pengajaran proyek anak bebas menentukan pilihannya (terhadap pekerjaan), merancang, serta memimpinnya. Proyek yang ditentukan oleh anak, mendorongnya mencari jalam pemecahan apabila ia menemui kesukaran. Anak dengan sendirinya giat dan aktif karena sesuai dengan apa yang diinginkannya. Proyek itulah yang menyebabkan mata pelajaran-mata pelajaran itu tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pengajaran berkisar pada pusat-pusat minat sewajarnya. Pengajaran proyek bisa juga digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia, antara lain dengan nama pengajaran proyek, pengajaran unit, dan sebagainya. Yang perlu ditekankan adalah pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memendang dan memecahkan masalah secara komprehensif; dengan kata lain menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah secara multidisplin. Pendekatan multidisiplin tersebut makin lama makin penting, utamanya dalam masyarakat yang maju.

3.Pengaruh Aliran Klasik Terhadap Pemikiran dan Praktek Pendidikan di Indonesia
Indonesia merupakan wilayah yang memiliki SDA, iklim, populasi Geografi, tradisi dan bahasa yang sangat beragam. Hal tersebut menyebabkan aliran-aliran pendidikan yang tertanam dan sudah dipraktekkan dalam masyarakat berbeda-beda hasilnya. Indonesia yang termasuk dalam kelompok negara berkembang yang biasanya mempunyai ciri-ciri berpenduduk padat dan belum tingginya perekonomian menyebabkan pendidikan dan fasilitas didalamnya belum maksimal
Rendahnya kependidikan di Indonesia sebenarnya dimulai dari rendahnya perekonomian masyarakat Indonesia yang notabene adalah petani biasa yang tanpa tehnologi. Hal tersebut mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam menyikapi aliran-aliran klasik pendidikan yang ada. Sebenarnya, semua itu dikarenakan karena Indonesia merupakan negara berkembang sehingga ada banyak masalah yang timbul dalam negara berkembang. Ekonomi yang belum mapan dikarenakan kebanyakan merupakan negara agraris yang ada di daerah panas yang menimbulkan :
1. Rendahnya produktifitas lahan
2. Kurangnya modal
3. Rendahnya tingkat pendidikan
4. Kurangnya kepemimpinan untuk memulai pembangunan ekonomi ( N Thut & Don Adam, 520).

4. Pengaruh Gerakan Baru terhadap Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
Gerakan baru dalam pendidikan berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dasar-dasarnya pemikirannya tentulah menjangkau semua segi dari pendidikan baik aspek konseptual maupun operasional. Sebab itu, mungkin saja gerakan-gerakan itu tidak diadopsi seluruhnya di masyarakat atau negara tertentu. Namun asas pokoknya menjiwai kebijakan-kebijakan pendidikan dalam masyarakat atau negara tersebut. Sebagai contoh: Indonesia, untuk kurikulum muatan lokal berperan dalam mendekatkan peserta didik dengan lingkungannya, berkembangnya sekolah kejuruan, pemupukan semangat kerja sama multidisplin dalam menghadapi masalah dan sebagainya.
Perlu ditekankan lagi bahwa kajian tentang pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu akan sangat bermanfaat untuk memperluas pemahaman tentang seluk-beluk pendidikan. Kedua hal tersebut penting karena setiap keputusan dan tindakan di bidang pendidikan termasuk bidang pengajaran, akan membawa dampak bukan hanya peran pokok pendidikan (utamanya jalur sekolah) yakni tentang masalah relevansi tentang dunia kerja(siap pakai); apakah tekanan pada pembudayaan manusia yang menyadari harkat dan martabatnya, ataukah memberi bekal keterampilan untuk memasuki dunia kerja. Kedua hal tersebut tentulah sama pentingnya dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang bermutu.

Selain aliran-aliran yang telah di jabarkan diatas, dalam dunia pendidikan terdapat pula beberapa aliran-aliran lain seperti: esensialisme, progresivisme, perenialisme, serta rekonstruksionisme.
1. Aliran Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman

Tokoh-tokoh Esensialisme
1) Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual.
2) George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu.

2. Aliran Progresivisme
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff. Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah- masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam. Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata” dan juga pengalaman teman sebaya Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24). Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
Tokoh-tokoh Progresivisme
1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2. John Dewey (1859 – 1952)
Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas
3. Hans Vaihinger (1852 – 1933)
Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.

3. Aliran Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Tokoh-tokoh Perenialisme
1. Plato. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan
2. Aristoteles. Ia menganggap penting pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral
3. Thomas Aquinas. Thomas berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru bertugad untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata

4. Aliran Rekonstruktivisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris “rekonstruct” yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.


B. Dua Aliran Pokok Pendidikan Indonesia
Dua “aliran” pokok pendidikan di Indonesia ialah Perguruan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam. Kedua aliran ini dipandang sebagai suatu tonggak pemikiran tentang pendidikan di Indonesia. Namun, perlu dikemukakan bahwa prakarsa dan upaya di bidang pendidikan tidak terbatas pada Taman Siswa dan INS saja. Secara historis, pendidikan yang melembaga (meskipun lebih banyak jalur di luar sekolah) telah dikenal sebelum Belanda menjajah Indonesia seperti padepokan, pesantren dan sebagainya. Setelah kemerdekaan, telah diupayakan mengembangkan satu sistem pendidikan nasional sesuai ketetapan Ayat 2 pasal 31 dari UUD 1945. Menjelang PJP II telah diletakkan landasan yuridis untuk penataan Sisdiknas dengan ditetapkannya UU RI atau aliran pendiddikan yang dikembangkan di Indonesia. Dalam Ketetapan itu dengan tegas dinyatakan “satu” dan bukannya “suatu” Sisdiknas itu. Oleh karena itu, kajian terhadap dua aliran pokok tersebut(Taman Siswa dan INS) seyogyanya dalam latar Sisdiknas tersebut.
1. Perguruan Taman Siswa
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara ( Lahir 2 Mei 1889 dengan nama Suwardi Suryaningrat) pada tanggal 3 Juli 1932 di Yogyakarta. Perguruan taman siswa memiliki 7 asas perjuangan untuk menghadapi kolonial Belanda serta mempertahankan kelangsungan hidup nasional yakni:
1) Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri ( zelf beschhikkingsrecht)
2) Bahwa pengajaran harus memberikan pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir maupun batin dapat memerdekakan diri.
3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
5) Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya lahir maupun batin hendaknya diusahakan denga kekuatan sendiri, dan mempertahankan kepribadiannya sepanjang masa.
6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai diri sendiri segala usaha yang dilakukan.
7) Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.

2. Ruang Pendidik INS Kayu Tanam
Ruang Pendidik INS ( Indonesia Nederlandsche School) didirikan oleh Mohamad Sjafei (lahir di Matan, Kalbar tahun 1895). Sekolah ini mengalami pasang surut sesuai dengan keadaan Indonesia waktu itu, bahkan bulan Desember 1948 sewaktu Belanda menyerang ke Kayu Taman, seluruh gedung INS dibumihanguskan, termasuk ruang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan ( RPPK) di Padang Panjang. Baru pada Mei 1950 Ruang Pendidik INS Kayu Taman bangkit dan Moh. Sjafei mulai lagi dengan 30 siswa. Pada tahun 1952, INS mendirikan percetakan Sridharma yang menerbitkan majalah bulanan Sendi dengan sasaran khlayak adalah anak-anak. Pada awal didirikannya INS kayu Taman mempunyai 5 asas yakni:
1. Berpikir logis dan rasional
2. Keaktifan atau kegiatan
3. Pendidikan masyarakat
4. Memperhatikan pembawaan anak
5. Menentang intelektualisme
Setelah kemerdekaan Indonesia, Moh. Sjafei mengembangkan asas-asas pendidikan INS menjadi dasar-dasar pendidikan Republik Indonesia yakni:
1) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan
3) Kesusilaan
4) Kerakyatan
5) Kebangsaan
6) Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan kejuruan
7) Percaya diri sendiri juga pada Tuhan
8) Berakhlak(berasusila) setinggi mungkin
9) Bertanggung jawab akan keselamatan nusa dan bangsa
10) Berjiwa aktif positif dan aktif negatif
11) Mempunyai daya cipta
12) Cerdas, logis dan rasional
13) Berperasaan tajam, halus dan estetis
14) Gigih atau ulet yang sehat
15) Correct atau tepat
16) Emosional atau terharu
17) Jasmani sehat dan kuat
18) Cakap berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab
19) Sanggup hidup sederhana dan bersusah payah
20) Sanggup mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan alat serba kurang
21) Sebanyak mungkin memakai kebudayaan nasional waktu mendidik
22) Waktu mengajar para guru sebanyak mungkin menjadi objek, dan murid-murid menjadi subjek. Bila hal ini tidak mungkin barulah para guru menjadi subjek dan murid menjadi objek.
23) Sebanyak mungkin para guru mencontohkan pelajaran-pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja.
24) Diusahakan supaya pelajar mempunyai darah ksatria; berani karena benar.
25) Mempunyai jiwa konsentrasi
26) Pemeliharaan (perawatan) sesuatu usaha
27) Menepati janji
28) a. Sebelum pekerjaan dimulai dibiasakan menimbangnya dulu sebaik-baiknya.
b. Kewajiban harus dipenuhi
29) Hemat


ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
1) Fundamentalisme
Aliran fundamentalisme terpengaruh aliran konservatisme. Ia memandang pendidikan sebagai proses regenerasi moral sehingga menilai pengetahuan dan kurikulum sebagai alat untuk membangun kembali masyarakat dalam pola kesempurnaan moral, seperti yang ada di masa silam.
Bagi aliran fundamentalisme, kesamaan di antara anak didik lebih penting ketimbang perbedaan yang ada. Bisa ditebak, metode pembelajaran yang diterapkan pun cenderung tradisional, semisal ceramah, hafalan, belajar dengan pengawasan ketat, dan diskusi terstruktur ketat. Semua itu harus dikendalikan oleh guru saja sebab siswa dianggap tak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses perkembangan intelektualnya sendiri.
Ada dua macam cabang dari aliran fundamentalisme.
1. Fundamentalisme Religius
Dijumpai dalam metode pendidikan di berbagai gereja Kristen yang terikat carapandang kaku tentang realitas, sebagaimana realitas itu diwahyukan dalam al-Kitab.
2. Fundamentalisme Sekuler
Ditandai dengan komitmen yang sama kakunya dengan fundamentalisme religius, terhadap akal sehat yang disepakati mayoritas orang.
Aliran fundamentalisme dihubungkan dengan gagasan G.W.F. Hegel dan Emile Durkheim. Sementara penganutnya antara lain, Max Rafferty dan Robert Welch, dengan penekanan kuat terhadap nasionalisme dan patriotisme.

2) Intelektualisme
Intelektualisme berpendapat bahwa setiap manusia adalah makhluk rasional. Oleh karena itu, sekolah menjadi sarana penting untuk mengajarkan cara menalar dan menyalurkan kebijaksanaan yang tahan lama dari masa silam. Dengan begitu, wewenang intelektual tertinggi di sekolah terletak pada kecerdasan intelektual, bahwa kebenaran bisa dipahami melalui proses penalaran. Sayangnya, pembelajaran ditekankan hanya pada aspek kognitif, melebihi aspek afektif dan sosial.
Paham intelektualisme masa lalu tersirat dari karya Plato dan Aristoteles. Sementara di masa modern yang sekuler, terlihat dari karya Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler. Intelektualisme yang religius tertuang dalam karya William McGucken dan John Donahue

3) Liberalisme
Liberalisme pendidikan merupakan produk dari tradisi empirisme dalam filsafat, yang meyakini bahwa sistem kebenaran bersifat terbuka. Tradisi ini menekankan jawaban yang diperoleh melalui tata cara rasional dan eksperimental.
Bagi aliran tersebut, masa kini dan masa depan adalah dua hal yang sangat penting. Begitu pula dengan perubahan atau pembaruan dalam berbagai bidang. Semua itu demi memajukan kebebasan individual dan memaksimalkan potensi manusia seutuhnya. Oleh sebab itu, pendidikan bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial. Caranya, dengan mengajarkan penyelesaian masalah secara mandiri. Maria Montessori dan John Dewey adalah beberapa pencetus liberalisme.

4) Liberasionisme
Bagi kaum liberasionis, sasaran puncak pendidikan berupa pembangunan kembali masyarakat mengikuti alur humanistik, dengan menekankan perkembangan dari potensi khas manusia. Dalam sistem pendidikan demikian, demokrasi haruslah stabil dan kokoh. Sekolah harus menyediakan informasi dan keterampilan bagi para siswa, agar mereka belajar efektif bagi diri mereka sendiri. Sekolah juga mesti membantu murid untuk mengenali dan menanggapi kebutuhan bagi perombakan atau perubahan yang merupakan tuntutan zaman. Paulo Freire adalah salah satu tokoh pendukung liberasionisme.

5) Anarkisme
Anarkisme adalah cara pandang yang membela pemusnahan seluruh kekangan kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk mewujudkan potensi manusia seutuhnya. Menurut aliran tersebut, pendidikan bertujuan untuk membawa perombakan berskala besar dan segera dalam masyarakat dengan cara menghilangkan persekolahan wajib. Sistem sekolah formal yang ada sekarang harus dihapuskan, lalu diganti dengan pola belajar sukarela dan mengarahkan diri sendiri. Artinya, akses yang bebas dan universal untuk memperoleh bahan atau materi pendidikan harus tersedia. Selain itu, kesempatan belajar mandiri harus tercipta bagi siapa saja, tanpa sistem pengajaran wajib. Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa anarkisme menekankan pilihan bebas dan penentuan nasib sendiri, dalam sebuah latar belakang sosial yang sehat dan humanis. Siswa berhak menentukan sendiri metode belajar yang sesuai dengan tujuan dan rancangan pembelajarannya. Selain itu, pembelajaran tak hanya bersifat kognitif atau afektif semata, namun menyeluruh secara total. Ivan Illich dan Paul Goodman adalah pencetus aliran anarkisme pendidikan.